HSI - 09 : Beriman Kepada Takdir

 Materi 01, Pengertian Al-Qadha dan Al - Qadar 


Halaqah yang pertama dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah tentang “Pengertian Al Qadha dan Al Qadar”.
Al Qadha dan Al Qadar adalah dua kata yang apabila berdampingan maka masing-masing memiliki makna tersendiri.

Al Qadha
Secara bahasa diantara maknanya adalah memutuskan, menyelesaikan, menyempurnakan, dan mewajibkan.

Allah berfirman,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ…

[QS Al-Isra’ 23] “Dan Rabb-mu mewajibkan supaya kalian tidak menyembah kecuali kepada-Nya.”


Dan Allah berfirman,

وَاللَّهُ يَقْضِي بِالْحَقِّ ۖ…

[QS Ghafir 20] “Dan Allah memutuskan dengan benar.”


Dan Allah berfirman,

فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا ۗ…

[QS Al-Baqarah 200] “Maka apabila kalian menyelesaikan manasik haji kalian hendaklah kalian mengingat Allah, seperti kalian mengingat bapak-bapak kalian atau lebih banyak.”


Adapun secara syariat yang dimaksud dengan Al Qadha adalah apa yang Allah putuskan pada makhluk-Nya baik berupa pengadaan, peniadaan, atau perubahan sesuai dengan Qadar atau ketentuan Allah sebelumnya.


Al Qadar
Secara bahasa adalah menentukan.
Adapun secara syariat maka Al Qadar adalah apa yang sejak dahulu atau azali sudah Allah tentukan akan terjadi.

Dengan demikian Al Qadar lebih dahulu daripada Al Qadha, karena Al Qadar adalah ketentuan Allah sejak azali sedangkan Al Qadha adalah keputusan Allah setelah itu, berupa pengadaan atau peniadaan atau pengubahan. Dan keduanya saling melazimi tidak bisa dipisah satu dengan yang lain.


Apa yang Allah tentukan akan Dia putuskan dan apa yang menjadi keputusan Allah maka itulah yang dia tentukan sebelumnya.
Namun apabila kata Al Qadha atau Al Qadar datang sendiri dalam sebuah kalimat maka maknanya mencakup makna kata yang lain.

Al Qadha adalah ketentuan Allah sejak dahulu dan keputusan-Nya. Demikian pula Al Qadar adalah ketentuan Allah sejak dahulu dan keputusan-Nya.


Materi 02, Dalil wajibnya beriman dengan  takdir Allah 


Beriman dengan takdir Allah yang baik dan yang buruk adalah termasuk salah satu diantara enam rukun iman yang harus diimani dan telah tetap kewajibannya di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma.

Dari Al-Qur’an Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

[QS Al-Qamar 49] “Sesungguhnya Kami telah menciptakan segala sesuatu dengan ketentuan.”

Dan Allah berfirman,

… وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

[QS Al-Furqan 2] “Dan Dia menciptakan segala sesuatu maka Dia pun menentukan dengan sebenar-benar penentuan.”

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

… ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا

[QS Al-Ahzab 38] “Dan perkara Allah adalah ketentuan yang sudah ditakdirkan.”

Adapun dari As-Sunnah maka Rasulullah ﷺ bersabda ketika ditanya oleh Malaikat Jibril alaihissalam tentang iman,

أن تؤ من با لله وملا ئكته وكتبه ورسله واليوم الا خر وتؤ من بالقدرخيره وشره

“Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Akhir, dan engkau beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk.” [HR Muslim] Dan beliau ﷺ bersabda,

كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى العَجْزُ والكَيْسُ

“Segala sesuatu dengan takdir sampai ketidak mampuan dan kecerdasan.” [HR Muslim]

Adapun dari Ijma, maka kaum muslimin telah bersepakat atas wajibnya beriman dengan takdir Allah dan bahwasanya orang yang mengingkari takdir Allah maka dia telah keluar dari agama Islam.


Berkata Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika mendengar tentang munculnya orang-orang yang mengingkari takdir dan bahwasanya kejadian terjadi dengan sendirinya tanpa takdir.

فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ، لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ

“Apabila kamu bertemu dengan mereka maka kabarkanlah kepada mereka bahwa aku (Abdullah Ibnu Umar) berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku. Demi Dzat yang Abdullah Ibnu Umar bersumpah dengan-Nya seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud kemudian menginfakkannya maka Allah tidak akan menerima darinya sampai dia beriman dengan takdir.” [Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam shahihnya]

Yang demikian karena Allah tidak menerima amalan orang yang kafir dan termasuk kekufuran apabila seseorang mengingkari takdir Allah azza wajalla.


Berkata Al Imam An Nawawi rahimahullah,

وَقَدْ تَظَاهَرَتِ الْأَدِلَّةُ الْقَطْعِيَّاتُ مِنَ الْكِتَابِ وِالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ وَأَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ عَلَى إِثْبَاتِ قَدَرِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

“Telah banyak dalil-dalil yang jelas tetapnya yang saling menguatkan dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma Shahabat dan para Ahlul Halli wal Aqdi, (yaitu orang-orang yang punya wewenang dari tokoh-tokoh kaum muslimin) dari kalangan salaf dan kholaf yang menunjukkan atas penetapan takdir Allah Subhānahu wa Ta’āla.” [Al Minhaj Syarah Shahih Muslim Ibnu Al Hajjaj jilid I hal 155] Dan berkata Ibnu Hajar rahimahullah,

و مذهب السلف قاطبة أن الأمورَ كلها بتقدير الله تعالى

“Dan Manhaj seluruh salaf bahwa perkara-perkara semuanya dengan takdir Allah Ta’āla.” [Fathul Baari jilid 11 hal 478



Materi 03,  Kedudukan Iman Dengan Takdir Di Dalam Agama Islām



Iman dengan takdir Allah memiliki kedudukan yang tinggi di dalam agama Islam.
Diantara yg menunjukkan ketinggian kedudukannya:

1. Beriman dengan takdir termasuk diantara enam Rukun Iman yang harus diimani dan pokok aqidah yang harus diyakini yang tidak sah iman seorang hamba tanpanya.

2. Beriman yang benar dengan takdir Allah yang mencakup: beriman dengan Ilmu Allah, penulisan-Nya, kehendak-Nya, dan Penciptaan-Nya termasuk bagian dari Mentauhidkan Allah di dalam Rububiyah dan sifat-sifat-Nya, karena Al Qadha (memutuskan) dan Al Qadar (menentukan) adalah termasuk pekerjaan Allah dan pekerjaan Allah adalah termasuk sifat-sifat-Nya. Barangsiapa yang tidak beriman dengan takdir maka dia bukan seseorang yang meng-Esa-kan Allah di dalam Rububiyah-Nya dan ini membawa pengaruh buruk pada Tauhid Uluhiyahnya.

Adapun orang yang beriman dengan Al Qadha dan Al Qadar maka akan terjaga Tauhid Rububiyah-Nya dan Uluhiyahnya.

Berkata Abdullah Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma,

” الْقَدَرُ نِظَامُ التَّوْحِيدِ ، فَمَنْ وَحَّدَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَآمَنَ بِالْقَدَرِ فَهِيَ الْعُرْوَةُ الْوُثْقَى الَّتِي لا انْفِصَامَ لَهَا ، وَمَنْ وَحَّدَ اللَّهَ تَعَالَى وَكَذَّبَ بِالْقَدَرِ نَقْضَ التَّوْحِيدَ ” .

“Takdir adalah aturan Tauhid, barangsiapa mengesakan Allah dan beriman dengan takdir maka inilah tali yang kuat yang tidak akan terlepas. Dan barangsiapa mentauhidkan Allah dan mendustakan takdir maka dia telah melepaskan tauhidnya.” [Atsar ini dikeluarkan oleh Al Firyabi di dalam Kitab Beliau Al Qadar hal 143]

Yang dimaksud dengan takdir adalah aturan Tauhid yaitu beriman dengan takdir menjadikan teratur dan lurus tauhid seseorang.

3. Beriman dengan takdir Allah adalah beriman dengan Qudratullah (kemampuan Allah). Barangsiapa yang tidak beriman dengan takdir berarti dia tidak beriman dengan Qudratullah.

Berkata Zaid Ibnu Aslam,

القدر قدرة الله عز وجل ، فمن كذب بالقدر؛ فقد جحد قدرة الله عز وجل

“Takdir adalah kemampuan Allah azza wajalla, barangsiapa yang mendustakan takdir maka dia telah mengingkari kemampuan Allah azza wajalla.” [Atsar ini diriwayatkan oleh Al Firyabi di dalam Kitab Beliau Al Qadar hal 144].

4. Beriman dengan takdir berkaitan dengan hikmah Allah, Ilmu-Nya, Kehendak-Nya, dan Penciptaan-Nya. Maka barangsiapa yang mengingkari takdir berarti dia telah mengingkari Ilmu Allah, Kehendak-Nya, dan Penciptaan-Nya.

5. Beriman yang benar dengan takdir Allah akan membuahkan kebaikan yang banyak dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Sebagaimana akan datang penyebutannya di halaqah-halaqah yang terakhir dari silsilah ini. Dan kebodohan tentang beriman dengan takdir ataupun kesalahpahaman menyebabkan berbagai penyimpangan dan kesengsaraan di dunia dan akhirat.

6. Beriman dengan takdir adalah aqidah seluruh para Nabi dan para pengikut mereka.

Allah berfirman tentang Nabi Nuh alaihissalam,

قَالَ إِنَّمَا يَأْتِيكُمْ بِهِ اللَّهُ إِنْ شَاءَ…

[QS Hud 33]

“Nuh berkata sesungguhnya Allah-lah yang akan mendatangkan tanda kekuasaan-Nya apabila Dia menghendaki.”

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman tentang Nabi Ismail alaihissalam,

… ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

[QS Ash-Shaffat 102]

“Ismail berkata, wahai bapakku kerjakanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu, niscaya engkau akan mendapatkan diriku termasuk orang-orang yang sabar apabila Allah menghendaki.”

Dan Allah berfirman tentang Nabi Musa alaihissalam,

… قَالَ رَبِّ لَوْ شِئْتَ أَهْلَكْتَهُمْ مِنْ قَبْلُ وَإِيَّايَ ۖ…

[QS Al-A’raf 155]

“Musa berkata, wahai Rabb-ku seandainya Engkau menghendaki niscaya Engkau telah menghancurkan mereka dan diriku sebelum ini.”

Tiga ayat di atas menunjukkan keimanan para Nabi alaihimussallam terhadap takdir Allah azza wajalla.

7. Diantara yg menunjukkan ketinggian kedudukan beriman dengan takdir di dalam agama Islam bahwa takdir berkaitan langsung dengan kehidupan manusia setiap harinya, seperti: sehat, sakit, kaya, miskin, kuat, lemah, bahagia, sengsara, nikmat, adzab, hidayah, kesesatan dll.

Materi 04, Cara Beriman dengan Takdir Allah, bagian 1 


Cara Beriman dengan Takdir Allah adalah dengan mengimani Marotibul Qadar (tingkatkan-tingkatan takdir) yang jumlahnya ada empat:

1. Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, yang ada dan yang tidak ada, yang mungkin terjadi dan yang tidak mungkin terjadi.

Allah Subhānahu wa Ta’āla mengetahui yang ada di langit maupun yang ada di bumi, yang kelihatan maupun yg tidak kelihatan.
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

… ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

[QS Al-Baqarah 282]

“Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Dan Allah berfirman,

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

[QS Al-An’am 59]

“Dan di sisi-Nya kunci-kunci ilmu ghaib, tidak mengetahuinya kecuali Dia, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan lautan dan tidaklah jatuh sebuah daun kecuali Allah mengetahuinya dan tidak ada satu biji di kegelapan-kegelapan bumi dan tidak ada sesuatu yang basah maupun kering kecuali semuanya tertulis di dalam kitab yang nyata (Al Lauhul Mahfudz).”

Allah mengetahui yang sudah terjadi, yang sedang terjadi dan yang akan terjadi, bahkan Allah mengetahui apa yang tidak terjadi, seandainya terjadi bagaimana kejadiannya.

Allah berfirman,

… ۖ وَلَوْ رُدُّوا لَعَادُوا لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

[QS Al-An’am 28]

“Dan seandainya mereka (yaitu orang-orang kafir) dikembalikan ke dunia niscaya mereka akan kembali melakukan apa yang mereka sudah dilarang darinya dan sesungguhnya mereka adalah berdusta.”

Yaitu seandainya orang-orang kafir yang diadzab di dalam neraka yang meminta supaya dikembalikan ke dunia untuk beriman dan beramal dikabulkan permintaan mereka untuk kembali ke dunia, niscaya mereka akan kafir kembali.

Dan Allah mengetahui apa yang dilakukan oleh makhluk sebelum Allah menciptakan mereka, mengetahui rezeki, ajal, dan amalan mereka, bergerak dan diamnya mereka, kesengsaraan dan kebahagiaan mereka, bahkan Allah mengetahui siapa diantara mereka yang kelak akan masuk ke dalam surga dan siapa yang akan masuk ke dalam neraka sebelum Allah menciptakan mereka. Bahkan sebelum mereka diciptakan, Allah mengetahui siapa diantara mereka yang kelak akan masuk surga dan siapa diantara mereka yang kelak akan masuk neraka.

Rasulullah ﷺ bersabda di dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ketika Nabi ﷺ ditanya tentang anak-anak orang-orang musyrikin beliau mengatakan,

الله أعلم بـما كـانوا عامليـن

“Allah lebih tau tentang apa yang akan mereka amalkan.” [HR Bukhari dan Muslim]

Dan beliau ﷺ bersabda,

ما منـكم من نفس إلا وقد علم منزلها من الجنة والنـار

“Tidak ada sebuah jiwa kecuali telah diketahui tempatnya di dalam surga dan neraka.” [HR Bukhari dan Muslim]

Kewajiban seorang muslim adalah berbaik sangka kepada Allah yang telah memberikan hidayah kepada agama Islam ini dan Sunnah Rasulullah ﷺ kemudian istiqamah dalam beriman dan beramal shaleh sampai dia meninggal dunia.



Materi 05, Cara Beriman dengan Takdir Allah, bagian 2


Diantara cara beriman dengan takdir Allah adalah dengan mengimani tingkatan takdir yang ke dua, yaitu:

2. Penulisan Allah terhadap seluruh takdir makhluk-Nya di dalam Al Lauhul Mahfudz. Maka tidaklah terjadi sesuatu di alam ini kecuali Allah telah menulisnya di dalam kitab tersebut. Tidak mungkin apa yang terjadi di alam ini keluar dari apa yang sudah Allah tuliskan.

Dalil-dalil tentang beriman dengan penulisan Allah terhadap takdir di dalam Al Lauhul Mahfudz dari Al-Qur’an diantaranya:

Firman Allah azza wajalla,

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ

[QS Al-Anbiya’ 105]

“Dan Kami telah menulis di dalam kitab-kitab yang Kami turunkan setelah sebelumnya ditulis di dalam Adz-Dzikr, bahwa bumi ini diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shalih.”

Adz-Dzikr adalah nama lain dari Al Lauhul Mahfudz.
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

[QS Ya-Sin 12]

“Sesungguhnya Kami-lah yang menghidupkan orang-orang yang mati dan Kami-lah yang menulis apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas mereka dan segala sesuatu Kami ihso’ di dalam kitab yang jelas.”

Makna “ihso’” diantaranya: Allah mengetahuinya, menjaganya, menetapkannya di dalam kitab tersebut.

Dan yang dimaksud dengan Kitab yang jelas adalah Al Lauhul Mahfudz.
Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

[QS Al-Hajj 70]

“Bukankah kamu mengetahui bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. Sesungguhnya yang demikian ada di dalam Kitab, sesungguhnya yang demikian sangat mudah bagi Allah.”

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

… ۚ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ..

[QS Al-An’am 38]

“Kami tidak lupakan sesuatu pun di dalam Al Lauhul Mahfudz.”

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

… ۚ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَلَا أَصْغَرَ مِنْ ذَٰلِكَ وَلَا أَكْبَرَ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

[QS Yunus 61]

“Dan tidak terlepas dari pengetahuan Allah. Sesuatu sebesar semut kecil pun baik di bumi maupun di langit baik yang lebih kecil daripada itu atau lebih besar kecuali di dalam Kitab yang jelas.”

Adapun dari Sunnah maka Rasulullah ﷺ bersabda,

كتب الله مقادير الخلائق قَبْلَ أَنْ يَخُلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah menulis takdir-takdir bagi para makhluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” [HR Muslim]

Dan Rasulullah ﷺ bersabda,

وَكَتَبَ فِي الذِّكْرِ كُلَّ شَيْءٍ

“Dan Allah menulis di dalam Adz-Dzikr (Al Lauhul Mahfudz) segala sesuatu.” [HR Bukhari dan Muslim]

Dan Beliau ﷺ bersabda,

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنْ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ مِنْ الْجَنَّةِ

“Tidak ada diantara kalian kecuali sudah ditulis tempatnya di dalam neraka dan tempatnya di dalam surga.” [HR Al Bukhari dan Muslim]


Materi 06, Cara Beriman dengan Takdir Allah, bagian 3


Selain beriman dengan penulisan takdir azali yang mencakup seluruh perkara, maka para ulama menyebutkan bahwa termasuk beriman dengan penulisan takdir adalah beriman dengan beberapa jenis penulisan takdir yang lain, yang merupakan bagian dari penulisan takdir azali.

⑴ Takdir Umri
Yaitu penulisan takdir seseorang di awal umurnya ketika di dalam rahim ibunya. Ditulis rezeki, ajal, amalan, kesengsaraan dia, dan kebahagiaannya.
Dalilnya adalah hadits Abdullah Ibnu Mas’ud radiallahu ‘anhu.
Rasulullah ﷺ bersabda,

إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُوْنُ في ذلك عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ في ذلك مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ،

(رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)

“Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dikumpulkan penciptaanya di perut ibunya selama 40 hari, kemudian di dalamnya sebagai segumpal darah selama 40 hari, kemudian di dalamnya sebagai segumpal daging selama 40 hari, kemudian diutus seorang Malaikat kemudian meniup nyawa di dalamnya dan diperintahkan dengan 4 kalimat yaitu menulis rezekinya, ajalnya, amalannya, dan apakah dia sengsara atau orang yang bahagia.”
[HR Al Bukhari dan Muslim]

⑵ Takdir Hauli
Yaitu takdir khusus kejadian selama satu tahun ditentukan di malam Lailatul Qadar.
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

[QS Ad-Dukhan 3- 4]

“Sesungguhnya Kami telah turunkan Al Qur’an pada malam yang berbarakah. Sesungguhnya Kami memberikan peringatan, di dalamnya dipisahkan seluruh perkara yang kokoh.”

⑶ Takdir Yaumi
Yaitu pelaksanaan apa yang sudah ditulis pada waktu yang sudah ditentukan.
Dalilnya adalah firman Allah,

.. ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

[QS Ar-Rahman 29]

“Setiap hari Dia (Allah) dalam sebuah urusan.”

Diantara urusan Allah adalah mengampuni dosa, menciptakan, melenyapkan, menghidupkan, mematikan, memuliakan dan menghinakan, memberi dan menahan, dll.

Dan perlu diketahui bahwa Takdir Yaumi, Hauli, dan Umri tidak keluar dari apa yang sudah tertulis di dalam takdir azali.

Materi 07, Cara Beriman dengan Takdir Allah, bagian 4


Diantara Cara Beriman dengan Takdir Allah adalah dengan mengimani tingkatan takdir yang ke-3 yaitu:

3. Masyiiatullah atau Kehendak Allah.

Dan yang dimaksud adalah beriman bahwa apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Allah kehendaki maka tidak akan terjadi. Dan apa yang ada di langit dan di bumi berupa bergeraknya sesuatu atau diamnya sesuatu maka dengan kehendak Allah dan tidak mungkin terjadi di kerajaan Allah Subhānahu wa Ta’āla apa yang tidak dikehendaki-Nya.

Diantara dalilnya dari Al Qur’an adalah firman Allah,

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

[QS Ya-Sin 82]

“Sesungguhnya perkara Allah apabila menginginkan sesuatu adalah mengatakan ‘Jadilah.’, maka jadilah dia.”

Dan Allah berfirman,

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ…

[QS Yunus 99]

“Dan seandainya Rabb-mu menghendaki niscaya akan beriman seluruh yang ada di bumi.”

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ…

[QS Ali ‘Imran 26]

“Katakanlah, ‘Ya Allah yang memiliki kerajaan, Engkau memberi kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau memuliakan siapa yang Engkau kehendaki dan menghinakan siapa yang Engkau kehendaki.”

Dan Allah berfirman,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

[QS At-Takwir 29]

“Dan tidaklah kalian menginginkan kecuali dengan kehendak Allah Rabb semesta alam.”

Adapun dari As-Sunnah, maka Rasulullah ﷺ bersabda,

▫️ لا يقل أحدُكم : اللهمَّ اغفر لي إن شئتَ ، ارحمني إن شئتَ ، ارزقني إن شئتَ ، وليَعزِمْ مسألتَه ، إنَّهُ يفعلُ ما يشاءُ ، لا مُكْرِهَ لهُ

“Janganlah salah seorang dari kalian mengatakan ‘Ya Allah ampunilah aku jika Engkau menghendaki, sayangilah aku jika engkau menghendaki, berilah aku rezeki apabila engkau menghendaki.’ Maka hendaklah dia menguatkan permintaannya karena Allah melakukan apa yang Dia kehendaki, tidak ada yang memaksanya”. [HR Bukhori]

Berkata Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah,

مَا شِئْتَ كَانَ، وإنْ لم أشَأْ – وَمَا شِئْتُ إن لَمْ تَشأْ لَمْ يكنْ

“Apa yang Engkau kehendaki ya Allah, terjadi, meskipun aku tidak menghendakinya dan apa yang aku kehendaki kalau Engkau tidak menghendakinya maka tidak akan terjadi.” [Atsar ini dikeluarkan oleh Al Lalika-i di dalam kitab beliau Syarhu Ushuli Itiqadi Ahli Sunnati wal Jamaah Minal Kitabi wa Sunnah Wa Ijmai Shahabah Jilid IV halaman 702]


Materi 08, Cara Beriman dengan Takdir Allah, bagian 5


Diantara cara beriman dengan takdir Allah adalah dengan mengimani tingkatan takdir yang ke empat, yaitu:

4. Penciptaan Allah terhadap segala sesuatu. Maksudnya Allah Subhānahu wa Ta’āla adalah pencipta segala sesuatu yang ada di langit maupun yang ada di bumi (sifat-sifatnya dan amalannya).

Menciptakan pelaku dan amalan yang dilakukan.
Menciptakan orang yang beriman dan keimanannya.
Menciptakan orang yang kafir dan kekafirannya.
Menciptakan orang yang taat dan ketaatannya.
Menciptakan pelaku maksiat dan kemaksiatannya.
Menciptakan setiap yang bergerak dan gerakannya.
Dan setiap yang diam dan diamnya.

Tidak ada yang mencipta selain Allah azza wajalla. Dia-lah Al Kholiq dan selainnya adalah makhluk.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

[QS Ash-Shaffat 96]

“Dan Allah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian kerjakan.”

Dan Allah berfirman,

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ…

[QS Az-Zumar 62]

“Allah yang menciptakan segala sesuatu.”

Dan Rasulullãh ﷺ bersabda,

إن الله خالق كل صانع وصنعته

“Sesungguhnya Allah, Dia-lah yang menciptakan setiap pelaku dan apa yang dia lakukan.”
[HR Al Hakim di dalam Al Mustadrak dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah]

Inilah 4 tingkatan takdir yang barangsiapa tidak beriman dengan salah satunya maka dia tidak beriman dengan Al Qadha dan Al Qadar.





Materi 09, Beriman Dengan Takdir dan Mengambil Sebab, Bagian 1



“Beriman dengan Takdir dan Mengambil Sebab Bagian 1”.

Seorang yang beriman selain diperintah untuk beriman dengan takdir Allah juga diperintah untuk mengambil sebab dan bertawakal kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla dan tidak bertawakal kepada sebab tersebut.

Rezeki sudah ditakdirkan oleh Allah azza wa jalla dan kita diperintahkan untuk mencari rezeki yang halal.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

[QS Al-Jumu’ah 10]

“Kemudian apabila sudah selesai shalat Jum’at maka hendaklah kalian menyebar di permukaan bumi dan carilah dari karunia Allah dan perbanyaklah di dalam mengingat Allah, semoga kalian beruntung.”

Dan Allah berfirman,

…ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ…

[QS Al-Baqarah 275]

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli.”

Dan di dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda,

لَأَنْ يَحْتَزِمَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةَ مِنْ حَطَبٍ فَيَحْمِلَهَا عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا يُعْطِيهِ أَوْ يَمْنَعُهُ

“Sungguh salah seorang di antara kalian mencari satu ikat kayu bakar kemudian mengangkatnya di atas punggungnya lebih baik daripada dia meminta orang lain, baik diberi atau tidak diberi.”
[HR Al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Dan beliau ﷺ bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah niscaya kalian akan diberi rezeki, sebagaimana burung diberi rezeki. Pagi-pagi mereka pergi dalam keadaan lapar dan datang di sore hari dalam keadaan kenyang.”
[HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah]

Dan burung di dalam mencari rezeki tidak hanya berdiam diri dan berpangku tangan di sarangnya tetapi dia pergi mencari sebab di dalam mendapatkan rezeki tersebut.

Dan dahulu para Nabi alaihimussalam bekerja dan mereka adalah orang-orang yang beriman dengan takdir Allah.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ ۗ…

[QS Al-Furqan 20]

“Dan Kami tidaklah mengutus sebelummu seorang Rasul pun kecuali mereka memakan makanan dan pergi ke pasar”

Dan di dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda,

كَانَ زَكَرِيَّا نَجَّاراً .

“Dahulu Nabi Zakaria adalah seorang tukang kayu.” [HR Muslim]

Dan Nabi Musa alaihissalam pernah bekerja sebagai seorang penggembala untuk orang yang shaleh dari Madyan selama beberapa tahun, sebagaimana Allah Subhānahu wa Ta’āla sebutkan di dalam surat Al Qashash ayat 27.


Materi 10, Beriman Dengan Takdir dan Mengambil Sebab, Bagian 2



Banyak dan sedikitnya keturunan sudah ditakdirkan oleh Allah azza wajalla tetapi bukan berarti seorang muslim menunggu tanpa usaha untuk mendapatkan keturunan. Bahkan dia diperintahkan untuk menikah sebagai sebab dan upaya mendapatkan keturunan.

Rasulullah ﷺ bersabda,

▪️تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرُ بكم الأممَ..

“Nikahilah wanita yang penyayang lagi subur karena sesungguhnya aku membanggakan banyaknya kalian di depan umat yang lain.” [HR Abu Daud dan An Nasai dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah]

Sakit dan kesembuhan dari penyakit sudah ditakdirkan oleh Allah azza wajalla namun kita diperintahkan untuk menjauhi sebab terkena penyakit dan diperintahkan pula untuk berobat apabila seseorang ditimpa sakit.

Rasulullah ﷺ bersabda,

▪️ إنَّ اللهَ عزَّ وجلَّ حيثُ خلق الداءَ خلق الدواءَ فتداووا

“Sesungguhnya Allah azza wajalla ketika menciptakan penyakit Dia juga menciptakan obatnya, maka berobatlah kalian.” [HR Ahmad dari Annas bin Malik radhiyallahu anhu dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah]

Dan Beliau ﷺ bersabda tentang sikap seorang muslim terhadap tho’un yaitu wabah penyakit yang merata yang terjadi di sebuah daerah,

إذا سمعتُم بِه بأرضٍ فلا تقدُموا علَيهِ وإذا وقعَ بأرضٍ وأنتُم بِها فلا تخرُجوا فرارًا منهُ َ

“Apabila kalian mendengar tho’un di sebuah daerah, maka janganlah kalian datang ke sana dan apabila terjadi di sebuah daerah sedangkan kalian berada di sana maka jangan kalian keluar dari daerah tersebut karena lari darinya.” [HR Al Bukhari dan Muslim]

Kematian dan juga musibah, sudah ditakdirkan oleh Allah azza wajalla dan kita diperintahkan untuk mengambil sebab keselamatan.

Dahulu Rasulullah ﷺ bersama keimanan beliau yang dalam tentang masalah takdir.
Beliau berperang memakai baju perang, menggunakan senjata, mengatur siasat perang, mengatur pasukan, dll.
Dan ini semua menunjukkan bahwa selain kita diperintah beriman dengan takdir Allah, kita juga diperintah untuk mengambil sebab yang diperbolehkan.



Materi 11, Beriman Dengan Takdir dan Mengambil Sebab, Bagian 3



Telah berlalu bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan telah ditakdirkan.
Tempat seseorang di surga atau di neraka telah ditakdirkan.
Dan seorang yang beriman sebagaimana dia diperintahkan mengambil sebab dalam perkara-perkara dunia, maka dia juga diperintahkan mengambil sebab di dalam perkara-perkara akhirat.

Seorang yang beriman diperintahkan mengambil sebab mendapatkan kebahagiaan di akhirat dan mengambil sebab keselamatan dari adzab.

Dan sebab mendapatkan kebahagiaan di akhirat dan keselamatan dari adzab di akhirat adalah:

– Beriman dengan syari’at Allah dengan cara menjalankan perintah, menjauhi larangan, membenarkan kabar-kabar Allah azza wajalla, mengimani janji-janji pahala, dan juga mengimani ancaman-ancaman terhadap dosa.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُون

[QS Al-Baqarah 82]

“Dan orang-orang yang beriman dan beramal shalih, merekalah penduduk surga, mereka kekal di dalamnya.”

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

[QS An-Nisa’ 14]

“Itulah batasan-batasan Allah dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, Allah akan memasukkan dia ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan yang demikian adalah keberuntungan yang sangat besar. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batasan-batasan Allah, maka Allah memasukkan dia ke dalam neraka, kekal di dalamnya, dan dia akan mendapatkan adzab yang menghinakan.”

Para sahabat Nabi ﷺ ketika dikabarkan oleh Nabi ﷺ bahwa tidak ada sebuah jiwa kecuali telah diketahui tempatnya di dalam surga dan neraka, mereka bertanya,

يا رسولَ اللهِ ! فلمَ نعملُ ؟ أفلا نتَّكِلُ ؟

“Wahai Rasulullah, untuk apa kita beramal? Mengapa kita tidak pasrah saja?”

Beliau ﷺ menjawab dengan jawaban yang ringkas,

«لا اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ، ِ » .

“Tidak demikian, akan tetapi beramallah kalian, karena masing-masing akan dimudahkan melakukan apa yang dia diciptakan untuknya.”
[HR Al Bukhari dan Muslim]

Beliau ﷺ juga bersabda,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

“Hendaklah engkau semangat melakukan apa yang bermanfaat untukmu dan memohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan engkau merasa lemah.” [HR Muslim]

Dari dalil-dalil di atas kita mengetahui bahwa seorang yang beriman diperintahkan untuk beriman dengan takdir Allah dan diperintahkan untuk beriman dengan syari’at Allah.




Materi 12, Aliran Sesat Yang Menyimpang Di Dalam Masalah Takdir


Diantara aliran sesat yang menyimpang di dalam masalah takdir adalah aliran Al Majusiyah, yaitu aliran yang mengikuti jalan orang-orang Majusi.

Mereka adalah orang-orang yang beriman dengan syari’at, akan tetapi mendustakan takdir Allah.

Ada diantara mereka yang mengingkari ilmu Allah dan mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu kecuali setelah terjadinya.

Dan ada diantara mereka yang mengingkari keumuman Masyiah Allah dan penciptaan-Nya. 

Mereka berkata,
“Allah yang mencipta manusia dan manusialah yang menciptakan amalannya sendiri.”

Dan mereka berkata,
“Bahwa amalan manusia adalah dengan kehendak manusia semata dan tidak ada hubungan sama sekali dengan kehendak Allah.”

Sehingga mereka dinamakan dengan Al-Majusiyah karena orang-orang Majusi meyakini bahwa pencipta ada dua:
⑴ Pencipta kebaikan
⑵ Pencipta keburukan

Dan diantara aliran yang sesat di dalam masalah takdir adalah aliran Al Musyrikiyah yaitu aliran yang mengikuti jalan orang-orang Musyrikin.

Mereka mengakui takdir Allah tetapi mengingkari syariat Allah dan tidak mengikutinya.

Dinamakan Al Musyrikiyah karena orang-orang Musyrikin mengakui takdir Allah dan tidak mau mengikuti syari’at Allah yang intinya adalah Tauhid.

Allah berfirman tentang mereka,

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ ۚ…

[Surat Al-An’am 148]

“Akan berkata (orang-orang Musyrikin) seandainya Allah menghendaki niscaya kita tidak akan berbuat syirik, demikian pula bapak-bapak kami, dan tentunya kami tidak akan mengharamkan sesuatu.”

Demikianlah ucapan orang-orang Musyrikin ketika mereka diajak oleh Rasulullah ﷺ untuk bertauhid, mereka menolak tauhid dan beralasan bahwa kesyirikan mereka adalah dengan takdir Allah.

Maka setiap orang yang berdalil dengan takdir dalam membolehkan kemaksiatan, pada hakikatnya dia telah mengikuti jalan orang-orang Musyrikin.

Adapun Ahlus Sunnah maka seperti yang sudah berlalu, mereka beriman dengan takdir dan beriman dengan syari’at.


Materi 13, Dua Macam Iradah Atau Keinginan Allāh

Diantara perkara yang penting dipahami oleh setiap muslim di dalam masalah beriman dengan takdir Allah bahwa Iradah atau keinginan Allah ada dua macam:

1. Iradah Kauniyah Qodariyyah
Yaitu keinginan Allah yang berkaitan dengan penciptaan dan kejadian-kejadian yang ditakdirkan oleh Allah azza wa jalla, seperti:
– Keinginan Allah menciptakan manusia dan hewan
– Menciptakan orang yang taat dan orang yang berbuat maksiat
– Menciptakan ketaatan dan kemaksiatan, dan lain-lain.

Dalil Iradah Kauniyah Qadariyyah diantaranya adalah firman Allah azza wajalla,

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

[QS Ya-Sin 82]

“Sesungguhnya perkara Allah apabila menginginkan sesuatu adalah mengatakan ‘Jadilah’, maka jadilah dia.”

Dan Allah berfirman,

… إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ

[QS Al-Hajj 14]

“Sesungguhnya Allah melakukan apa yang Dia inginkan.”

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ ۚ…

[QS Al-An’am 125]

“Barangsiapa yang Allah inginkan untuk diberi hidayah maka Allah lapangkan dadanya untuk menerima Islam dan barangsiapa yang Allah inginkan untuk disesatkan maka Allah akan menjadikan dadanya sempit lagi sesak seperti ketika dia berusaha naik ke atas.”

Dan Masyiah Allah atau Kehendak Allah yang disebutkan di dalam halaqah yang ke-7 adalah nama lain dari Iradah Kauniah Qadariyyah.

2. Iradah Syar’iyyah Diniyyah
Yaitu keinginan Allah yang berkaitan dengan syari’at agama yang Allah turunkan.

Allah Subhānahu wa Ta’āla menginginkan manusia mengikuti syari’at-Nya dan agama-Nya, menginginkan mereka menjalankan perintah Allah, dan menginginkan mereka meninggalkan larangan Allah.

Dalil Iradah Syar’iyyah Diniyyah diantaranya adalah firman Allah azza wa jalla,

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

[QS Al-Ahzab 33]

“Sesungguhnya Allah hanya menginginkan untuk menghilangkan kotoran dari kalian wahai Ahlul Bait dan membersihkan kalian dari dosa dengan sebenar-benarnya.”

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ…

[Surat An-Nisa’ 27]

“Dan Allah menginginkan untuk menerima taubat kalian.”

Dan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ Beliau bersabda,

يقول الله تعالى : لِأَهْوَنِ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ : لَوْ أَنَّ لَكَ مَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ أَكُنْتَ تَفْتَدِي بِهِ ” ، فَيَقُولُ : نَعَمْ ، فَيَقُولُ : ” أَرَدْتُ مِنْكَ أَهْوَنَ مِنْ هَذَا ، وَأَنْتَ فِي صُلْبِ آدَمَ ، أَنْ لَا تُشْرِكَ بِي شَيْئًا ، فَأَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تُشْرِكَ بِي ”

“Allah Subhānahu wa Ta’āla berkata kepada penduduk neraka yang paling ringan adzabnya di hari kiamat, ‘Seandainya engkau memiliki seluruh apa yang ada di bumi apakah engkau akan menebus dengannya?’
Maka dia berkata, ‘Iya’.
Maka Allah berkata, ‘Aku menginginkan darimu yang lebih ringan daripada ini, sedangkan engkau saat itu berada di dalam sulbi Adam, yaitu supaya engkau tidak menyekutukan Aku sedikitpun, maka engkau pun enggan, kecuali menyekutukan diri-Ku’ ” [HR Al Bukhari dan Muslim]

Materi 14, Perbedaan Iradah Kauniyah Qadariah & Iradah Syar’iyyah Dinniyah



Perbedaan antara Iradah Kauniyah Qadariyyah dan Iradah Syar’iyyah Diniyyah diantaranya:

1. Iradah Kauniyah melazimkan terjadinya apa yang diinginkan oleh Allah.

Misalnya Allah menginginkan menciptakan matahari maka terciptalah matahari.

Sedangkan Iradah Syar’iyyah maka tidak melazimkan terjadinya apa yang Allah inginkan, seperti secara syari’at Allah menginginkan ke-Islam-an Abu Lahab tetapi hal tersebut tidak terjadi.

2. Bahwa Iradah Kauniyah tidak melazimkan apa yang Allah inginkan tersebut dicintai oleh Allah, akan tetapi terkadang kejadiannya ada yg dicintai oleh Allah, misal keimanan orang yang beriman.

Dan terkadang ada yang kejadiannya tidak dicintai oleh Allah, seperti kemaksiatan.

Adapun Iradah Syar’iyyah maka kejadiannya pasti sesuatu yang dicintai oleh Allah, seperti keimanan orang yang beriman, ketaatan orang yang taat, dll.

3. Iradah Kauniyah tidak melazimkan bahwa itu diperintah oleh Allah, sedangkan Iradah Syar’iyyah melazimkan bahwa hal tersebut diperintahkan oleh Allah, artinya setiap yang diinginkan oleh Allah secara syari’at berarti dia diperintahkan.




Materi 15, Beberapa Contoh Berkaitan Iradah Syar’iyyah dan Iradah Kauniah


Beberapa Contoh Keadaan yang Berkaitan dengan Iradah Syar’iyyah dan Iradah Kauniyah.

1. Keimanan Abu Bakar
Keimanan Abu Bakar berkaitan dengannya dua Iradah sekaligus (Iradah Syar’iyyah dan Iradah Kauniyah).
Berkaitan dengannya Iradah Syar’iyyah karena Allah mencintai dan menginginkan keimanan Abu Bakar.
Dan berkaitan dengannya Iradah Kauniyah karena Allah mentakdirkan, mewujudkan, dan menciptakan keimanan Abu Bakar.

2. Keimanan Abu Jahal
Keimanan Abu Jahal berkaitan dengannya Iradah Syar’iyyah saja dan tidak berkaitan dengannya Iradah Kauniyah.
Berkaitan dengannya Iradah Syar’iyyah karena Allah mencintai dan menginginkan keimanan Abu Jahal.
Dan tidak berkaitan dengannya Iradah Kauniyah karena Allah tidak mentakdirkan, mewujudkan, dan menciptakan keimanan Abu Jahal.

3. Kemaksiatan orang yang berbuat maksiat
Kemaksiatan orang yang berbuat maksiat berkaitan dengannya Iradah Kauniyah saja dan tidak berkaitan dengannya Iradah Syar’iyyah.
Berkaitan dengannya Iradah Kauniyah karena Allah mentakdirkan, mewujudkan, & menciptakan kemaksiatan tersebut.
Dan tidak berkaitan dengannya Iradah Syar’iyyah karena secara syari’at, Allah tidak mencintai dan menginginkan kemaksiatan tersebut.

4. Kekufuran Orang yang Beriman yang Tidak Terjadi
Hal ini tidak berkaitan dengannya dua Iradah.
Tidak berkaitan dengannya Iradah Syar’iyyah karena secara syari’at, Allah tidak mencintai dan tidak menginginkan kekufuran orang yang beriman.
Dan tidak berkaitan dengannya Iradah Kauniyah karena Allah tidak mentakdirkan kekufuran orang yang beriman dan tidak mewujudkannya serta tidak menciptakannya.




Materi 16, Aliran Yang Menyimpang Di Dalam Masalah Iradah

Senin, 02 September 2024 


Halaqah yang ke enam belas dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah tentang “Aliran yang Menyimpang di Dalam Masalah Iradah Syar’iyyah dan Iradah Kauniyah”.

Aliran yang menyimpang di dalam masalah Iradah Syar’iyyah dan Iradah Kauniyah adalah:

– Al Qodariyyah
– Al Jabriyyah

Mereka tidak membedakan antara Iradah Syar’iyyah dan Iradah Kauniyah.
Mereka menganggap bahwa semua yang terjadi adalah dicintai oleh Allah.

Adapun Al Qodariyyah maka mereka mengatakan bahwa setiap yang diinginkan oleh Allah pasti dicintai oleh Allah dan yg tidak Allah cintai dan ridhoi berarti terjadi tidak dengan keinginan Allah dan tidak diciptakan oleh Allah.

Dan diantara yang tidak dicintai oleh Allah adalah
kekafiran dan kemaksiatan.
Dengan demikian kekafiran dan kemaksiatan tidak diciptakan oleh Allah karena Allah tidak mencintainya.
Kemudian akhirnya mereka menyimpulkan bahwa seluruh amalan makhluk semuanya bukan dengan Iradah dan penciptaan Allah tetapi dengan Iradah makhluk tersebut tanpa campur tangan Iradah Allah dan penciptaan Allah.

Dan adapun Al Jabriyyah maka mereka mengatakan bahwa semua yang terjadi adalah dengan Iradah dan penciptaan Allah.
Dan setiap yang diinginkan oleh Allah dan diciptakan pasti dicintai oleh Allah.
Dan kekufuran serta kemaksiatan diciptakan oleh Allah, berarti kekufuran dan kemaksiatan dicintai oleh Allah azza wajalla.

Dengan demikian kita mengetahui bahwa orang-orang Al Qodariyyah tersesat karena meyakini terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan oleh Allah di dalam kerajaan Allah dan mereka benar ketika mengatakan bahwa Allah tidak mencintai kekafiran dan kemaksiatan.

Dan kita mengetahui bahwa orang-orang Al Jabriyyah tersesat karena meyakini bahwa kekufuran dan kemaksiatan dicintai oleh Allah dan mereka benar ketika meyakini bahwa Allah yang mentakdirkan itu semua.

Adapun Ahlus Sunnah, maka Allah memberikan petunjuk kepada mereka.
Mereka meyakini bahwa Allah mentakdirkan segala sesuatu termasuk kekafiran dan kemaksiatan.
Dan Allah tidak mencintai kekafiran dan kemaksiatan.

Dari keterangan di atas diketahui bahwa syubhat Al Qodariyyah dan Al Jabriyyah satu, yaitu: mereka tidak membedakan antara dua Iradah Allah dan meyakini bahwa setiap yang diciptakan oleh Allah berarti dicintai oleh Allah, padahal tidak semua yang diciptakan Allah dicintai oleh Allah azza wajalla.






Materi 17, Peran Doa di Dalam Beriman dengan Takdir Allah


Halaqah yang ke tujuh belas dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah tentang “Peran Doa di Dalam Beriman dengan Takdir Allah”.

Takdir telah tertulis, akan tetapi bukan berarti seseorang meninggalkan berdo’a kepada Allah.
Berdo’a adalah bagian dari mengambil sebab yang diperintahkan untuk mendapatkan kebaikan dunia maupun kebaikan akhirat.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ

[QS Ghafir 60]

“Dan berkata Rabb kalian, hendaklah kalian berdo’a kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan untuk kalian.”

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ…

[QS Al-Baqarah 186]

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka sesungguhnya Aku adalah dekat mengabulkan do’anya orang yang berdo’a kepada-Ku.”

Dan do’a adalah ibadah, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

الدعاء هو العبادة

”Do’a itu adalah ibadah.” [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, dan Ibnu Majah]

Dan Rasulullah ﷺ bersabda,

وﻻ ﻳﺮﺩ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﺇﻻ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ

“Dan tidak menolak Al Qadar kecuali do’a.” [Hadits Hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah]

Dan bukanlah yang dimaksud dengan do’a bisa menolak takdir, bahwa do’a bisa melawan takdir Allah yang sudah Allah tulis, akan tetapi makna Al Qadar disini adalah Al Muqoddar, yaitu sesuatu yang ditakdirkan, artinya do’a bisa menjadi sebab berubahnya keadaan yang ditakdirkan oleh Allah menjadi keadaan lain yang juga ditakdirkan oleh Allah.

Contoh seseorang ditakdirkan sakit kemudian dia berdo’a kepada Allah meminta kesembuhan kemudian Allah mengabulkan doanya dan menakdirkan kesembuhan bagi orang tersebut.

Dan do’a yang dipanjatkan oleh seseorang kepada Allah adalah bagian dari takdir Allah.

Lalu bagaimana dikatakan bahwa doa bisa melawan takdir Allah azza wajalla.


Materi 18, Kapan seseorang boleh beralasan dengan Takdir



Takdir dijadikan hujjah dan alasan di dalam musibah dan bencana dan tidak boleh dijadikan hujjah dan alasan di dalam dosa dan kemaksiatan.

Ketika musibah seseorang mengatakan,
“Ini adalah takdir Allah.”
“Ini adalah dengan izin Allah.”
Atau mengatakan, “Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi.”
Maka hal ini akan membawa ketenangan dan kebaikan pada dirinya.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

(مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ)

[QS At-Taghabun 11]

“Tidaklah menimpa sebuah musibah kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan memberikan petunjuk kepada dirinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Dan Nabi ﷺ bersabda,

وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلا تَقُلْ : لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَ كَذَا , وَلَكِنْ قُلْ : قَدَرُ اللهِ وَ مَا شَاءَ فَعَلَ , فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

”Dan apabila engkau tertimpa musibah maka janganlah engkau mengatakan, seandainya aku melakukan demikian niscaya akan demikian dan demikian, akan tetapi ucapkanlah, ini adalah takdir Allah dan apa yang Allah kehendaki akan Dia lakukan. Karena sesungguhnya ucapan ‘seandainya’ ini membuka amalan syaitan.” [HR Muslim]

Namun ketika berbuat maksiat dan dinasehati maka tidak boleh seseorang berhujjah dengan takdir atas maksiat yang dia lakukan kemudian dia mengatakan, “Saya berbuat maksiat karena takdir Allah.” atau mengatakan “Kalau Allah menghendaki niscaya saya tidak berbuat maksiat.” dll.

Orang-orang Musyrikin ketika dahulu didakwahi oleh para Nabi untuk bertauhid mereka menolak dan mereka berhujjah dengan takdir atas kesyirikan dan kemaksiatan yang mereka lakukan.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

وَقَالَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا عَبَدْنَا مِنْ دُونِهِ مِنْ شَيْءٍ نَحْنُ وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ دُونِهِ مِنْ شَيْءٍ ۚ كَذَٰلِكَ فَعَلَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

[QS An-Nahl 35]

“Dan berkata orang-orang Musyrikin, ‘Seandainya Allah menghendaki niscaya kami tidak menyembah selain Allah sedikit pun, kami dan bapak-bapak kami, dan niscaya kami tidak mengharamkan sedikit pun.’ Demikianlah orang-orang sebelum mereka melakukan. Maka tidak ada kewajiban atas rasul kecuali menyampaikan dengan jelas.”

Adapun ucapan Nabi Adam ‘alaihissalam yang disebutkan di dalam hadits,

▫️ احتجَّ آدمُ وموسى ، فقالَ لَهُ موسَى : أنتَ آدمُ الَّذي أخرجتكَ خطيئتُكَ منَ الجنَّةِ ؟ فقالَ لَهُ آدمُ : أنتَ موسى الَّذي اصطفاكَ اللَّهُ برسالتِه وبكلامِه ، ثمَّ ، تَلومُني على أمرٍ قُدِّرَ عليَّ قبلَ أن أُخلَقَ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : فحجَّ آدمُ موسَى

“Adam dan Musa saling berhujjah, maka berkata Musa ‘Engkau adalah Adam yang dosamu telah mengeluarkanmu dari surga.’ Berkata Adam, ‘Engkau adalah Musa yang Allah telah memilihmu sebagai seorang Rasul dan memilihmu sebagai manusia yang pernah diajak bicara oleh Allah kemudian engkau mencelaku atas sebuah perkara yang telah ditakdirkan untukku sebelum aku diciptakan.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Adam telah mengalahkan Musa dalam berhujjah.’ Beliau ﷺ mengucapkannya dua kali.” [HR Al Bukhari dan Muslim]

Maka perlu diketahui bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam di dalam hadits ini tidak berhujjah dengan takdir atas dosa yang beliau lakukan akan tetapi beliau berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpa beliau dan keturunan beliau, yaitu musibah keluarnya beliau dari surga yang efeknya juga dirasakan oleh keturunan beliau ‘alaihissalam.



Materi 19, Makna Ucapan Rasulullãh ﷺ “Kejelekan Tidak Kepadamu



Halaqah yang ke sembilan belas dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah tentang Makna Ucapan Rasulullah ﷺ “Kejelekan Tidak Kepada-Mu”.

Allah Subhānahu wa Ta’āla yang menciptakan segala sesuatu yang bermanfaat maupun yang memudhoroti, yang baik maupun yang buruk.
Adapun sabda Nabi ﷺ di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,

والشر ليس إليك

”Dan kejelekan tidak disandarkan kepada-Mu.”

Maka hadits ini tidak menunjukkan bahwa kejelekan tidak dicipta oleh Allah.

Para ulama telah menjelaskan bahwa makna hadits ini:

1. Ini adalah bentuk adab kita kepada Allah azza wajalla. Tidak boleh kita berkata “Wahai Yang Menciptakan kejelekan” atau mengatakan “Wahai Pencipta Babi” meskipun Allah Subhānahu wa Ta’āla Dia-lah Yang Menciptakan itu semua.

2. Allah Subhānahu wa Ta’āla tidak menciptakan kejelekan, secara murni kejelekan. Kejelekan yang Allah ciptakan pasti ada hikmahnya. Dilihat dari sisi hikmah inilah kejelekan yang menimpa manusia tersebut adalah baik di pandangan Allah azza wajalla, maka tidak boleh disandarkan kejelekan kepada Allah azza wajalla.

Misalnya Allah mentakdirkan rezeki.
Ada diantara manusia yang diluaskan rezekinya dan ada yang disempitkan.
Disempitkan dengan hikmah dan diluaskan dengan hikmah.

Dan diantara hikmah disempitkan rezeki seseorang adalah supaya dia tidak berlebihan di dunia, supaya dia banyak berdoa, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Dan diantara hikmahnya adalah supaya terjadi saling membutuhkan antara orang yang kaya dan orang yang miskin.

3. Ada di antara ulama yang mengatakan bahwa makna ucapan Nabi ﷺ “Kejelekan tidak disandarkan kepada-Mu” maksudnya tidak boleh bertaqarrub kepada Allah dengan kejelekan.

4. Ada di antara ulama yang mengatakan bahwa maknanya kejelekan tidak akan sampai kepada Allah, tetapi kebaikan itulah yang akan sampai kepada Allah.

Penyandaran kejelekan di dalam dalil tidak dilakukan secara khusus kepada Allah, tetapi terkadang dengan penyandaran umum, seperti firman Allah azza wajalla,

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ…

[QS Az-Zumar 62]

“Allah Yang Menciptakan Segala Sesuatu.”

Dan terkadang disandarkan kejelekan tersebut kepada penyebabnya, sebagaimana firman Allah,

مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

[QS Al-Falaq 2]

“Dari kejelekan apa yang dia ciptakan.”

Dan terkadang Allah Subhānahu wa Ta’āla menggunakan kalimat yang pasif, sebagaimana firman Allah,

وَأَنَّا لَا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا

[QS Al-Jinn 10]

“Dan sesungguhnya kami (bangsa jin) tidak mengetahui apakah kejelekan yang diinginkan terhadap penduduk bumi ataukah Rabb mereka menginginkan bagi penduduk bumi kebaikan.”





Materi 20, Amalan Hamba / Ikhtiariyah Menurut Ahlus Sunnah



Halaqah yang ke dua puluh dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah tentang “Amalan Hamba Ikhtiariyyah Menurut Ahlus Sunnah”.

Amalan Hamba terbagi menjadi dua:

1. Amalan Hamba Idlthiroriyyah (اضطرارية) yaitu amalan hamba yang seorang hamba tidak bisa memilih, seperti gerakan orang yang menggigil.

2. Amalan hamba Ikhtiariyyah (اختيارية) yaitu amalan hamba yang seseorang bisa memilih. Seperti amalan-amalan ketaatan dan amalan-amalan kemaksiatan.

Ahlus Sunnah Wal Jamaah meyakini bahwa Allah yang menciptakan amalan mereka, bukan mereka sendiri yang menciptakan amalan tersebut sebagaimana keyakinan orang-orang Qodariyyah.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

[QS Ash-Shaffat 96]

“Dan Allah, Dia-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian kerjakan.”

Dan Rasulullah ﷺ bersabda,

إن الله خالق كل صانع وصنعته

“Sesungguhnya Allah Yang Menciptakan setiap pelaku dan apa yang dia lakukan.” [Hadits Shahih diiriwayatkan oleh Al Hakim, di dalam Al Mustadrok]

Dan Ahlus Sunnah meyakini bahwa para hamba, merekalah pelaku dari apa yang mereka amalkan.

Allah yang menciptakan keimanan dan kekafiran, dan seorang hamba dialah yang beriman dan dialah yang kafir.

Allah menciptakan ketaatan dan kemaksiatan, dan hamba dialah yang taat dan dialah yang bermaksiat.

Allah menciptakan shalat dan puasa, dan hamba-lah yang melakukan shalat dan dialah yang melakukan puasa, bukan Allah Subhānahu wa Ta’āla yang menjadi pelaku itu semua, sebagaimana diyakini oleh orang-orang Al Jabriyyah.

Allah berfirman,

فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

[QS As-Sajdah 17

“Maka sebuah jiwa tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka berupa hal-hal yang menyejukan mata mereka sebagai balasan atas apa yang mereka amalkan.”

Di dalam ayat ini Allah mengabarkan bahwa amal yang dilakukan para hamba adalah sebab mereka mendapatkan kenikmatan di surga, menunjukkan bahwa pelaku amalan tersebut adalah hamba dan bukan Allah.

Allah Subhānahu wa Ta’āla memberikan para hamba qudrah atau kemampuan sebagaimana firman Allah,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ..

[QS Al-Baqarah 286]

“Allah tidak membebani sebuah jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.”

Dan Allah juga memberikan mereka iradah atau keinginan. Allah-lah yang menciptakan iradah pada diri mereka dan iradah mereka di bawah iradah Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Allah berfirman,

لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

[QS At-Takwir 28-29]

“Bagi siapa diantara kalian yang ingin istiqomah dan tidaklah kalian menghendaki istiqomah kecuali dengan kehendak Allah Rabb semesta alam.”

Ini semua menunjukkan tentang batilnya ucapan Al Jabriyyah bahwa hamba dipaksa melakukan ketaatan atau kemaksiatan, tidak ada pilihan bagi mereka, mereka tidak memiliki qudrah dan iradah, keadaan mereka seperti gerakan pohon yang tertiup angin mengikuti ke mana arah angin tersebut.


Materi 21, Hidayah Taufiq dan Kesesatan Menurut Ahlus Sunnah



Halaqah yang ke dua puluh satu dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah tentang “Hidayah Taufiq dan Kesesatan Menurut Ahlus Sunnah”.

Hidayah terbagi menjadi dua:

1. Hidayatul Irsyad, yaitu bimbingan dan arahan menuju jalan yang benar.
Hidayah jenis ini dimiliki oleh para Nabi dan orang-orang yang mengikuti para Nabi dari kalangan para da’i, karena mereka membimbing dan mengarahkan manusia kepada jalan Allah.

Allah berfirman,

… ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

[QS Asy-Syura 52]

“Dan sesungguhnya engkau sungguh-sungguh memberikan hidayah kepada jalan yang lurus.”

Maksudnya adalah membimbing dan mengarahkan menuju jalan yang lurus.

2. Hidayatut Taufiq, yaitu pembukaan hati dan pelapangan dada untuk menerima kebenaran dan mengamalkannya.

Hidayah Taufiq ini hanya dimiliki oleh Allah, tidak dimiliki oleh Nabi dan da’i.

Allah berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

[QS Al-Qashash 56]

“Sesungguhnya engkau tidak memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai akan tetapi Allah-lah yang memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia lebih mengetahui siapa orang yang mendapatkan petunjuk.”

Hidayah Taufiq Allah berikan kepada siapa yang dikehendaki dan kesesatan juga Allah berikan kepada siapa yang dikehendaki.

Allah berfirman,

… ۚ كَذَٰلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ…

[QS Al-Muddatstsir 31]

“Demikianlah Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki dan memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki.”

Barangsiapa yang Allah berikan hidayah taufiq, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang bisa memberikan hidayah.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ ۚ…

[QS Al-A’raf 186]

“Barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak akan ada yang memberikan hidayah.”

Dan Allah berfirman,

وَمَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُضِلٍّ ۗ…

[QS Az-Zumar 37]

“Dan barangsiapa yang Allah berikan hidayah maka tidak ada yang bisa menyesatkan dirinya.”

Dan Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

“Barangsiapa yang Allah berikan hidayah maka tidak ada yang menyesatkan dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang memberikan hidayah.” [HR Muslim]

Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki dengan karunia-Nya dan anugerah-Nya dan Allah lebih mengetahui siapa diantara hamba-Nya yang berhak untuk mendapatkan petunjuk.

Dan Allah menyesatkan siapa yang Allah kehendaki dengan keadilan-Nya dan Allah lebih tahu siapa yang berhak untuk disesatkan.

Kesesatan tersebut adalah keadilan Allah, bukan kedzoliman-Nya, karena Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menegakkan hujjah atas hamba-Nya, memberikan kesempatan baginya untuk mengikuti petunjuk Allah, diberikan akal untuk berfikir dan memilih, diutus kepadanya seorang Rasul yang menjelaskan, diturunkan kepadanya kitab, dan diperlihatkan kepadanya jalan yang lurus.
Apabila dia adalah orang yang hilang akalnya, atau anak yang belum baligh, atau orang yang tidur, maka tidak ditulis amalannya.

Rasulullah ﷺ bersabda,

رُفِعَ القلمُ عن ثلاث، عَنِ النَّائمِ حتَّى يستَيقِظ ،و عنِ الصغير حتَّى يَكْبرََ ، وعنِ المجنونِ حتَّى يعقل أو يفيق

“Diangkat pena dari tiga golongan: dari orang yang tidur sampai dia bangun, dan dari anak kecil sampai dia baligh, dan dari orang yang gila sampai dia berakal atau sadar.” [Hadits Shahih riwayat An Nasai dan Ibnu Majah dari Aisyah radhiyallahu ‘anha]

Orang yang belum sampai kepadanya risalah seorang Rasul, maka tidak akan diadzab.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

… ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

[QS Al-Isra’ 15]

“Dan Kami tidak akan mengadzab sampai Kami mengutus seorang Rasul.”

Apabila sudah sampai kepada mereka petunjuk dan mereka tidak menerima serta tidak mengamalkan dan lebih memilih durhaka dan maksiat kepada Allah, maka Allah akan menyesatkan mereka dan ini adalah keadilan bukan kedzoliman.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّىٰ يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُونَ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

[QS At-Taubah 115]

“Dan tidaklah Allah menyesatkan sebuah kaum setelah memberikan petunjuk kepada mereka sampai Allah menjelaskan kepada mereka apa yang mereka taqwai. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwasanya Allah menyesatkan mereka setelah mereka tidak menerima petunjuk Allah yang sampai kepada mereka.

Materi 22, Aliran yang Menyimpang di Dalam Masalah Hidayatut Taufiq dan Penyesatan


Halaqah yang ke dua puluh dua dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah tentang ”Aliran yang Menyimpang di Dalam Masalah Hidayatut Taufiq dan Penyesatan“.

Telah menyimpang di dalam masalah ini dua aliran: Al Qodariyyah dan Al Jabriyyah.

Adapun Al Qodariyyah, maka mereka meyakini bahwa Allah bukanlah yang memberikan hidayah taufiq dan Allah bukanlah yang menyesatkan.

Dan mereka mengatakan bahwa makna Allah memberikan hidayah yang datang di dalam dalil seperti dalam firman Allah,

… وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ…

[QS Al-Qashash 56]

“Akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki.”

Adalah penamaan orang tersebut dengan orang yang mendapatkan hidayah.

Dan mereka mengatakan bahwa maksud Allah menyesatkan seperti yang datang di dalam firman Allah azza wajalla,

… ۚ كَذَٰلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ… ۚ

[QS Al-Muddatstsir 31]

“Demikianlah Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki.”

Adalah penamaan orang tersebut dengan orang yang sesat.

Dan ini tentunya bertentangan dengan dalil-dalil yang telah berlalu yang menunjukkan bahwa Allah, Dia-lah yang memberikan hidayah taufiq dan Dialah yang menyesatkan.

Demikian pula Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjadikan hidayah yang Allah berikan kepada seorang hamba sebagai sebuah karunia dan anugerah, sebagaimana firman Allah,

… ۖ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ..

[QS Al-Hujurat 17]

“Akan tetapi Allah memberikan anugerah kepada kalian dengan memberikan hidayah kepada keimanan.”

Seandainya maksud Allah memberikan hidayah adalah hanya penamaan pelakunya dengan orang yang mendapatkan hidayah maka ini tidak dinamakan dengan karunia dan anugerah karena seandainya ini adalah karunia atau anugerah, maka kita sebagai makhluk juga memberikan karunia dan anugerah sebab kita pun sebagai makhluk juga menamakan orang tersebut sebagai orang yang mendapatkan hidayah.

Adapun Al Jabriyyah maka mereka meyakini bahwa Allah memaksa mereka, tidak memberikan mereka kehendak, tidak memberikan mereka kemampuan, menghalangi mereka dari sebab-sebab mendapatkan petunjuk.

Dan ini juga bertentangan dengan dalil-dalil yang telah berlalu yang menunjukkan bahwa seorang hamba diberi kehendak dan kemampuan, diberi kesempatan memilih dan ditunjukkan kepadanya jalan yang lurus.

Materi 23, Buah Beriman dengan Takdir Allah Bagian 1

Halaqah yang ke dua puluh tiga dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah tentang “Buah Beriman dengan Takdir Allah Bagian 1”.

Diantara buah beriman dengan Takdir Allah azza wajalla:

1. Beriman dengan Takdir adalah sebab seseorang merasakan lezatnya iman

Berkata Ubadah Ibnu Shomit kepada putranya,

يابني انك لن تجد طعم حقيقة الإيمان , حتى تعلم ان ما اصابك لم يكن ليخطئك وما اخطئك لم يكن ليصيبك

“Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan merasakan lezatnya hakikat keimanan sampai engkau meyakini bahwa apa yang menimpamu tidak akan luput darimu dan apa yang luput darimu tidak akan menimpamu.” [diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah]

2. Membuahkan keberanian, keyakinan, tawakal, dan bergantung hanya kepada Allah, karena dia meyakini bahwa tidak akan menimpa dia kecuali apa yang sudah Allah tulis.

Allah berfirman,

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

[QS At-Taubah 51]

“Katakanlah tidak akan menimpa kami kecuali apa yang sudah Allah tentukan untuk kami, Dia-lah penolong kami dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman bertawakal.”

3. Membuahkan akhlak yang mulia, seperti kedermawan karena apabila seseorang mengetahui bahwa kekayaan dan kemiskinan dengan Takdir Allah, dia tidak akan takut berinfak fii sabilillah.

4. Membuahkan rasa syukur ketika mendapatkan nikmat, menyandarkan kenikmatan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang mentakdirkan.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ…

[QS An-Nahl 53]

“Dan nikmat apa saja yang ada pada kalian maka itu adalah dari Allah.”

5. Membuahkan petunjuk dan kesabaran ketika mendapatkan musibah.

Allah berfirman,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

[QS Al-Hadid 22]

“Musibah apa saja yang menimpa baik di bumi maupun pada diri-diri kalian kecuali sudah ditulis di dalam sebuah kitab sebelum Kami menjadikannya. Sesungguhnya yang demikian adalah sangat mudah bagi Allah.”

6. Semakin kuat keimanan seseorang dengan Takdir Allah, maka akan semakin kuat tauhid-nya, karena iman dengan Takdir adalah bagian dari iman dengan Rububiyah Allah, yang konsekuensinya adalah tauhid Uluhiyyah.

7. Membuahkan keikhlasan dan terjauh dari riya, karena orang yang beriman dengan Takdir mengetahui bahwa Allah telah menentukan segalanya dan menyadari bahwa mencari pahala dari manusia tidak akan memberikan manfaat.

8. Menghilangkan rasa dengki antar sesama muslim karena dia menyadari bahwa rezeki sudah diatur dan dibagi oleh Allah dengan hikmah yang dalam. Lalu untuk apa seseorang dengki dan iri.

Materi 24, Buah Beriman dengan Takdir Allah, Bagian 2



Halaqah yang ke dua puluh empat dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah tentang “Buah Beriman dengan Takdir Allah Bagian 2”.

9. Membuahkan semangat yang tinggi di dalam melakukan kebaikan yang berkaitan dengan agama seperti ibadah, menuntut ilmu, berdakwah, dll.

Orang yang beriman dengan Takdir Allah tidak takut celaan orang yang mencela ketika berdakwah, tidak terlalu hancur hatinya ketika melihat orang yang tidak menerima dakwahnya, dan dia tidak pamer atau bangga diri ketika melihat orang yang mendapatkan hidayah dengan sebab dirinya karena semua itu sudah ditakdirkan oleh Allah azza wajalla.

10. Membuahkan semangat yang tinggi di dalam berbuat kebaikan yang berkaitan dengan dunia seperti bekerja yang halal, melakukan aktivitas yang diperbolehkan dan bermanfaat, dll. Dan dia tidak mudah menyesal dan berputus asa ketika menghadapi musibah yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut.

11. Membuahkan ridha terhadap hukum-hukum Allah baik yang berupa hukum-hukum syariat, maupun hukum-hukum Kauniyah.

12. Membuahkan kebahagiaan dan menghilangkan kesedihan karena dia mengetahui dan yakin bahwa Allah memilih yang terbaik baginya di dalam urusan dunia, agama, dan akhir dari perkaranya.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

… ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

[QS Al-Baqarah 216]

“Dan mungkin saja kalian membenci sesuatu dan dia adalah baik bagi kalian. Dan mungkin saja kalian mencintai sesuatu dan dia adalah jelek bagi kalian. Dan Allah, Dia-lah yang mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.”

13. Membuahkan keistiqomahan di atas jalan yang lurus baik dalam keadaan mendapatkan nikmat atau tertimpa musibah, karena dia akan bersyukur ketika mendapatkan nikmat dan akan bersabar ketika dia terkena musibah.

14. Tidak putus asa dari pertolongan Allah bagaimanapun besarnya fitnah dan banyaknya ujian, karena dia yakin bahwa akhir yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa. Dan ini adalah ketentuan Allah yang sudah Allah tentukan.

Allah berfirman,

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا

[QS Al-Fath 28]

“Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk menampakkan agama tersebut di atas seluruh agama dan cukuplah Allah sebagai saksi.”

Dan Allah mengatakan,

إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ

[QS Ghafir 51]

“Sesungguhnya Kami akan menolong Rasul-Rasul Kami dan orang-orang yang beriman di kehidupan dunia dan ketika bangkit para saksi.”

15. Menjadikan di dalam diri seorang hamba Qonaah atau merasa cukup dengan pemberian Allah azza wajalla, tidak rakus terhadap dunia dan tidak meminta-minta kepada orang lain. Karena dia meyakini bahwa rezeki sudah tertulis dan tidak mungkin orang lain bisa menyampaikan kepadanya sebuah rezeki kecuali apa yang sudah Allah tulis sebelumnya.

Materi 25, Buah Beriman dengan Takdir Allah, Bagian 3

16. Berbaik sangka kepada Allah. Ketika melihat dirinya diberi hidayah kepada Tauhid, Sunnah, dan ketaatan, maka dia berbaik sangka kepada Allah, bahwa Allah menghendaki pada dirinya kebaikan dan ingin memudahkan dia masuk ke dalam Surga-Nya.

17. Menimbulkan rasa takut di dalam diri seorang hamba dari suul khotimah, sehingga dia tidak tertipu dengan amal sholehnya, karena dia tidak tau dengan apa Allah akan menakdirkan akhir amalannya.

18. Menimbulkan sifat tidak suka merendahkan orang lain dan menghinakan orang lain yang terjerumus ke dalam kemaksiatan, karena dia tidak tau dengan apa Allah akan menakdirkan akhir dari amalan orang tersebut.

19. Memerdekakan akal dan diri dari khurafat dan tathoyyur dan dia meyakini bahwa segala sesuatu tidak terlepas dari takdir Allah. Tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Allah dan tidak ada yg menolak kejelekan kecuali Allah.

20. Menjadikan seseorang rendah hati dan tidak sombong ketika diberikan rezeki oleh Allah baik berupa harta, kedudukan, maupun ilmu, dll. Karena ini semua datang dari Allah dan dengan takdir Allah. Dan kalau Allah menghendaki, Allah akan mengambilnya dari kita sewaktu-waktu.

21. Membawa ketenangan di dalam hati dan ketentraman jiwa karena ketika tertimpa musibah dia merasa itu yg terbaik dan pasti ada hikmahnya dan dia mengetahui bahwa orang yang ridha maka Allah akan ridha kepadanya, sehingga dia tidak cemas dan gelisah, dan tidak berangan-angan dan berandai-andai.

Akhirnya semoga Allah Subhānahu wa Ta’āla menjadikan kita termasuk orang yang beriman dengan takdir Allah yang baik maupun yang buruk.
Dan semoga Allah Subhānahu wa Ta’āla memberikan karunia kepada kita semua sehingga kita bisa merasakan buah-buah yang baik dari beriman dengan takdir. Dan sesungguhnya Allah mengabulkan do’a.


Komentar